Jumat, September 19, 2008

Seputar Permasalahan I'tikaf

Oleh: Abdullah Saleh Hadrami
1. HikmahnyaAl-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Dan (Allah) syari'atkan i'tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat denganNya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata.Beliau juga menyebutkan diantara tujuan i'tikaf adalah agar supaya kita bertafakkur (memikirkan) untuk selalu meraih segala yang mendatangkan ridha Allah dan segala yang mendekatkan diri kepadaNya dan mendapatkan kedamaian bersama Allah sebagai persiapan kita menghadapi kesepian di alam kubur kelak.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah berkata: Tujuan dari pada i'tikaf adalah memutuskan diri dari manusia untuk meluangkan diri dalam melakukan ketaatan kepada Allah di dalam masjid agar supaya meraih karunia dan pahala serta mendapatkan lailatul qadar. Oleh sebab itu hendaklah seorang yang beri'tikaf menyibukkan dirinya dengan berdzikir, membaca (Al-Qur?an), shalat dan ibadah lainnya. Dan hendaklah menjauhi segala yang tidak penting dari pada pembicaraan masalah dunia, dan tidak mengapa berbicara sedikit dengan pembicaraan yang mubah kepada keluarganya atau orang lain untuk suatu maslahat, sebagaimana hadis Shafiyyah Ummul Mukminin radhiallahu anha berkata: Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam beri'tikaf lalu aku mengunjunginya pada suatu malam dan berbincang dengannya, kemudian aku bangkit untuk pulang lalu Nabi Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam bangkit bersamaku (mengantarkanku). (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Makna I'tikafYaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu. Dan dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu'takif dan 'akif (orang yang sedang i'tikaf).
3. Disyari'atkannya I'tikaf dan WaktunyaDisunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam beri'tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Syawwal. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan sahabat Umar Radhiallahu Anhu pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernadzar pada jaman jahiliyyah (dahulu), (yaitu) aku akan beri'tikaf semalam di Masjidil Haram ?" Beliau Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam bersabda, "Tunaikanlah nazarmu." Maka ia (Umar) beri'tikaf semalam." (HR. Bukhari dan Muslim)Hadis sahabat Umar ini adalah dalil bahwa i'tikaf boleh dilakukan diluar bulan Ramadhan dan tanpa melakukan puasa, karena i?tikaf dan puasa adalah dua ibadah yang terpisah dan tidak disyaratkan untuk menggabungkan keduanya, ini adalah pendapat yang benar. Diperbolehkan pula i'tikaf beberapa saat (tidak dalam waktu lama). (Asy-Syarhul Mumti ala Zadil Mustaqni, Karya Syaikh Utsaimin 6/508-509 dan 6/511..)
Yang paling utama adalah pada bulan Ramadhan, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiallahu Anhu , bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam beri'tikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tiba tahun yang dimana beliau diwafatkan, beliau beri'tikaf selama dua puluh hari. (HR. Bukhari)
Dan yang lebih afdhal lagi adalah pada akhir bulan Ramadhan, karena Nabi Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam beri'tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Ta?ala mewafatkan beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)
Seseorang yang berniat i'tikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hendaklah memulai i'tikafnya pada hari keduapuluh Ramadhan sebelum matahari terbenam, jadi malam pertamanya adalah malam keduapuluh satu Ramadhan.(Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 4/489-491, Mukhtashar Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab? An-Nawawi 6/211, ?Fiqhus Sinnah?, Sayyid Sabiq 1/622-623, dan ?Asy-Syarhul Mumti? ?ala Zadil Mustaqni??, Karya Syaikh Utsaimin 6/521)
4. Hendaklah I'tikaf Dilakukan di MasjidHendaklah i'tikaf dilakukan di masjid sebagaimana firman Allah Ta?ala: ??dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri?tikaf dalam masjid.? (QS. Al-Baqarah: 187).Ayat tersebut juga dalil atas diharamkannya jima? dan segala pendahuluannya ?seperti mencium dan meraba dengan syahwat- bagi orang yang i?tikaf.
I?tikaf boleh dilakukan di semua masjid, akan tetapi yang paling afdhal adalah i?tikaf di tiga masjid (Masjil Haram Mekkah kemudian Masjid Nabawi Madinah kemudian Masjdil Aqsha Palestina) sebagaimana sabda Rasulullah ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam: ?Tidak ada i?tikaf (yang lebih sempurna dan afdhal) kecuali di tiga masjid (tersebut).?(HR. AbduR Razzaq dalam ?Al-Mushannaf? (8037) dengan sanad sahih. Lihat ?Shifat Shoum Nabi? hlm 93 dan gabungkan dengan ?Asy-Syarhul Mumti? ?ala Zadil Mustaqni??, Karya Syaikh Utsaimin 6/505)
5. Wanita Boleh Beri'tikaf di MasjidWanita diperbolehkan i?tikaf di masjid bersama suaminya atau sendirian, sebagaimana dikatakan Aisyah ?radhiallahu anha : ?Bahwasanya Nabi ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam beri?tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sehingga Allah mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau beri?tikaf sepeninggal beliau.? (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ?rahimahullah berkata: ?Dalam hadis tersebut ada dalil bahwa boleh wanita beri?tikaf. Dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu terikat oleh ijin dari wali mereka, aman dari fitnah (hal-hal yang tidak di inginkan) dan tidak terjadi kholwah (berdua-duan) dengan laki-laki berdasarkan dalil-dalil yang banyak tentang hal tersebut dan juga kaidah fiqih: Menolak kerusakan adalah didahulukan daripada mendatangkan kebaikan.?
6. Tidak Keluar dari Masjid Kecuali SeperlunyaHendaklah orang yang i?tikaf tidak keluar dari masjid selama ?tikaf kecuali seperlunya, sebagaimana dikatakan Aisyah ?radhiallahu anha: ?Yang sunnah bagi orang i?tikaf adalah tidak keluar kecuali untuk perkara yang mengharuskannya keluar.? (HR. Al-Baihaqi dengan sanad sahih)Aisyah berkata pula: ?Bahwasanya Rasulullah?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam apabila i?tikaf tidak masuk rumah kecuali karena hajat manusia.? (HR. Bukhari dan Muslim)
Keluar dari masjid ketika i'tikaf ada tiga macam:
a). Keluar untuk suatu perkara yang merupakan keharusan seperti, buang air besar dan kecil, berwudhu dan mandi wajib atau lainnya seperti makan dan minum, ini adalah boleh apabila tidak memungkinkan dilakukan di dalam masjid.
b). Keluar untuk perkara ketaatan seperti, menjenguk orang sakit dan mengantarkan jenazah, hal ini tidak boleh dilakukan kecuali apabila dia telah berniat dan mensyaratkannya di awal i?tikaf.
c). Keluar untuk perkara yang menafikan i?tikaf seperti, untuk jual beli, jima? dan bercumbu dengan isterinya dan semacam itu, hal ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan i?tikaf dan menafikan maksud dari i'tikaf. (?Majalis Syahr Ramadhan? hlm 160. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin -Rahimahullah)...www.hatibening.com

Rabu, September 17, 2008

Sayidina Yusuf Terlibat Dalam Pemerintahan Kufur?

HTI-Press. Salah satu argumentasi yang sering dilontarkan beberapa kelompok untuk membenarkan berdakwah dengan cara bergabung dalam sistem yang jelas-jelas kufur adalah bahwa Sayidina Yusuf as. pernah terlibat dalam sistem kufur. Berikut ini pembahasan rinci tentang hal tersebut.
Bukti Kesalahan Beberapa Argumen Partisipasi dan Integrasi Politik Argumentasi bahwa Sayidina Yusuf a.s. Terlibat dalam Pemerintahan Kufur.
Al-Quran al-Karim menceritakan kisah Nabi Yusuf a.s.
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ ﴿٥٥﴾ وَكَذَلِكَ مَكَّنِّا لِيُوسُفَ فِي الأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَن نَّشَاء وَلاَ نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٥٦﴾

Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang dikehendakinya di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (TQS. Yusuf [12]: 55-56)

Ayat ini sering digunakan sebagai dalil untuk membuktikan bahwa Nabi Yusuf a.s. diperbolehkan berpartisipasi dalam sistem pemerintahan Raja Mesir yang tidak Islami itu. Berdasarkan hal ini, sebagian pihak mengklaim bahwa kaum Muslim saat ini pun berarti boleh melakukan hal yang sama. Mereka menggunakan ayat berikut sebagai dalil:

مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلاَّ أَن يَشَاءَ اللّهُ ﴿٧٦﴾

Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. (TQS. Yusuf [12]: 76)

Ayat ini digunakan untuk membuktikan bahwa Nabi Yusuf a.s. telah memperdaya raja agar mengizinkan beliau untuk menghakimi saudaranya berdasarkan syariat Yakub a.s.–untuk memperbudak seorang pencuri–dan tidak menggunakan hukum raja. Oleh karena itu, diklaim bahwa pemahaman (konotasi) terbalik (mafhum mukhalafah) ayat tersebut secara implisit menyebutkan, bahwa selain dalam kasus dengan saudaranya, Yusuf a.s. menjalankan hukum raja.

Menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai upaya untuk membuktikan bahwa Nabi Yusuf a.s. terlibat dalam pemerintahan yang non-Islami, dan bahwa Nabi Yusuf a.s. berhukum dengan selain syariat Allah Swt. adalah suatu penghinaan terhadap kemaksuman seorang nabi. Dengan demikian, argumen tersebut jelas keliru. Sebelum membahas kekeliruan argumen tersebut, pertama-tama kita perlu menunjukkan bukti bahwa Nabi Yusuf a.s. sebenarnya tidak pernah berpartisipasi dalam sistem kufur.

Mari kita cermati ayat pertama tadi, yang digunakan untuk mendiskreditkan Nabi Yusuf a.s.:

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ ﴿٥٥﴾ وَكَذَلِكَ مَكَّنِّا لِيُوسُفَ فِي الأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَن نَّشَاء وَلاَ نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٥٦﴾

Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang dikehendakinya di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (TQS. Yusuf [12]: 55-56)

Hanya ada dua kemungkinan penjelasan yang benar tentang ayat ini. Pertama, ayat tersebut mengandung pengertian bahwa Nabi Yusuf a.s. hanya bertanggung jawab terhadap masalah mengumpulkan dan menyimpan hasil panen rakyat Mesir saat itu, termasuk bertanggung jawab mengamankan gudang penyimpanannya. Artinya, ini adalah jabatan administratif, bukan jabatan kekuasaan atau pemerintahan. Ibnu Katsir mengemukakan pendapat ini dalam tafsir beliau atas ayat ini. Syu’aibah bin Nu’ama juga memiliki pendapat yang sama. Dalam tafsir Ibnu Katsir, dikatakan bahwa Nabi Yusuf a.s.: “…bertanggung jawab atas gudang penyimpanan hasil panen, yang dikumpulkan untuk persiapan menghadapi musim paceklik yang diperkirakan akan datang. Ia ingin menjadi penjaga lumbung itu sehingga dapat mendistribusikan hasil panen itu dengan cara yang paling bijaksana, baik, dan menguntungkan.”[1]

Pendapat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. berhukum dengan hukum kufur atau malah terlibat dalam sistem pemerintahan. Nabi Yusuf a.s. sekadar berpartisipasi dalam posisi sebagai tenaga administratif, dan hal itu tidaklah haram, bahkan hingga sekarang. Jadi, aktivitas ini berbeda dengan aktivitas pemerintahan dan berpartisipasi dalam sistem kufur seperti yang terjadi saat ini, ketika seseorang diambil sumpahnya dan Islam harus tunduk pada pelaksaanan hukum parsial dan kehendak hawa nafsu manusia.

Kemungkinan pendapat yang kedua, bahwa Nabi Yusuf a.s. bertanggung jawab atas keseluruhan wilayah, disimbolkan oleh kewenangan atas komoditas ekonomi paling penting di kawasan itu. Pendapat ini diajukan oleh Imam an-Nasafi yang mengatakan bahwa dalam masalah tersebut raja berada di bawah Yusuf a.s. dan tidak dapat mengeluarkan keputusan tanpa otorisasi Yusuf a.s. Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan as-Suddi dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang mengatakan bahwa Yusuf a.s. diberi kewenangan, ‘untuk melakukan apa pun yang ingin dilakukannya’.[2] Pendapat ini didukung oleh pandangan sebagian ulama bahwa raja tersebut sebetulnya masuk Islam; Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Mujahid juga berpendapat seperti ini.

Kembali, tidak ada analogi yang bisa diambil oleh mereka yang berpartisipasi dalam pemilihan umum dalam sistem kufur. Imam an-Nasafi menyatakan bahwa ayat ini sekadar menunjukkan bahwa seseorang diperbolehkan meminta seorang penguasa tiran untuk memberikan kewenangan kepada seseorang yang dianggap adil. Hal ini berarti tidak ada peluang munculnya penerapan aturan secara parsial karena kewenangan diberikan secara penuh.

Adalah mustahil dan tidak masuk akal apabila ayat ini dapat diartikan bahwa berpartisipasi dalam suatu sistem kufur, atau bahwa implementasi Islam secara parsial, diperbolehkan. Menginterpretasikan ayat tersebut dengan cara seperti itu akan membuatnya bertentangan dengan banyak ayat lain yang bersifat qath’iy yang nyata-nyata melarang hal itu. Para ulama mengatakan bahwa orang yang melakukan hal itu dianggap sebagai kafir, fasik, atau dzalim[3]. Tentu saja mustahil kita mengasosiasikan sifat-sifat tersebut terhadap Nabi Yusuf a.s. karena beliau adalah seorang yang maksum.

Interpretasi bahwa Nabi Yusuf as berpartisipasi dalam sistem kufur dan berhukum dengan hukum raja bertentangan dengan pernyataan Nabi Yusuf a.s. sendiri yang dikatakannya kepada dua sahabatnya di penjara sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran:

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ ﴿٤٠﴾

Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (TQS. Yusuf [12]: 40)

Dalam ayat ini jelas terbukti bahwa Yusuf a.s. meyakini bahwa setiap orang yang tidak berhukum dengan syariat Allah Swt. berarti orang tersebut telah membuat agama versinya sendiri. Ini dilukiskan oleh perkataan beliau: “itulah agama yang lurus”. Jelas, menurut Yusuf a.s., berhukum berdasarkan syariat Allah Swt. adalah masalah akidah (keyakinan), tauhid (keyakinan terhadap keesaan Allah), dan memenuhi ketentuan Allah Swt. Beginilah tafsiran Ibnu Katsir terhadap ucapan Yusuf a.s., yang menjelaskan bahwa seseorang yang tidak mengikuti agama yang lurus adalah orang yang musyrik. Ibnu Katsir menafsirkan kalimat “Itulah agama yang lurus” berarti tauhidullah, serta mengarahkan setiap perbuatan sebagai bentuk penyembahan terhadap-Nya saja … adalah agama yang benar dan lurus. Yaitu, agama yang telah Allah tetapkan, dan yang untuk itu telah Dia turunkan dalil-dalil dan bukti-bukti yang nyata. ‘…tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu’ adalah alasan yang menyebabkan kebanyakan dari manusia menjadi musyrik”[4].

Ketika menceritakan bahwa Yusuf a.s. tidak menghukumi saudaranya dengan hukum raja, al-Quran menggunakan kata ‘diin’ dengan mengacu pada hukum sang raja. Dengan kata lain, raja itu memiliki diin, dan Yusuf a.s. memiliki diin lain yang berbeda.

مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلاَّ أَن يَشَاءَ اللّهُ ﴿٧٦﴾

Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. (TQS. Yusuf [12]: 76)

Jadi, wahai saudaraku kaum Muslim, bagaimana mungkin Nabi Yusuf a.s. berkata kepada sahabatnya di penjara bahwa berhukum dengan syariat Allah Swt. adalah diin yang lurus, sementara itu dalam kesempatan lain beliau justru mengadopsi diin sang raja? Kita berlindung kepada Allah Swt. dari fitnah semacam ini.

Imam Nasafi, Ibnu Katsir, dan Imam asy-Syaukani mengatakan bahwa ayat ini mengandung pengertian bahwa Yusuf a.s. menghukumi saudaranya dengan syariat Yakub a.s. Ayat ini digunakan oleh sebagian orang untuk mengklaim bahwa mafhum mukhalafah ayat tersebut menunjukkan secara implisit bahwa ketika berurusan dengan orang lain Yusuf a.s. menggunakan hukum sang raja. Mafhum mukhalafah bisa dianggap sah berdasarkan bilangan (‘adad) dan deskripsi sifat yang bisa dipahami (wasfu al-mufhim), selama tidak bertentangan dengan nash-nash yang ada. Dalam kasus ini, mafhum mukhalafah tersebut berarti batal. Mafhum semacam ini dikenal dengan istilah mafhum al-laqab, yaitu pengertian (konotasi) terbalik yang diambil dari suatu kata benda atau suatu nama, misalnya saudara Nabi Yusuf a.s. Akan tetapi, seperti yang nanti ditunjukkan, penggunaan mafhum yang lemah semacam ini dan dalam kasus ini–yang diterima oleh Abu Bakr ad-Daqaq dan Ibnu Faruq–tidaklah absah.

Kita bisa menggunakan contoh yang sederhana untuk menunjukkan kesalahan logika tersebut. Jika pernyataan “Aku melihat Zaid” dipahami dengan menggunakan mafhum al-laqab, maka maknanya adalah “Aku tidak melihat orang lain selain Zaid”. Dalam contoh ini, firman Allah Swt. bahwa Yusuf a.s. menghukumi saudaranya berdasarkan syariat Yakub, diartikan bahwa dalam kesempatan lain beliau menggunakan hukum selain hukum sang raja. Sungguh ini adalah salah satu jenis mafhum mukhalafah yang paling lemah. Bahkan, Imam asy-Syaukani menyatakan bahwa orang-orang yang menggunakan logika semacam ini tidak memiliki landasan, baik itu secara linguistik, hukum, maupun rasional. Imam asy-Syaukani lantas melanjutkan dengan mengatakan, “Diketahui dari lidah orang Arab bahwa siapa pun yang berkata “Aku melihat Zaid”, tidak akan diartikan bahwa ia tidak melihat orang lain selain Zaid, tapi jika ada indikasi di dalam nash bahwa memang itulah makna yang dikehendaki maka bukti atau dalil atas hal itu ditunjukkan oleh indikasi tersebut”[5].

Seandainya mafhum itu dianggap sah, tetap saja tidak dapat digunakan dalam contoh kita tadi. Hal itu karena para pengusung mafhum al-laqab sendiri menetapkan bahwa mafhum tersebut tidak boleh digunakan apabila bertentangan dengan kondisi-kondisi lain, misalnya dengan nash-nash yang eksplisit (qath’iy). Oleh karena itu, penggunaan mafhum tersebut dalam menafsirkan ayat itu akan bertentangan dengan banyak ayat al-Quran yang secara qath’iy jelas-jelas melarang berhukum dengan hukum kufur, termasuk ucapan Nabi Yusuf a.s. sendiri mengenai keharusan berhukum dengan syariat Allah Swt.[6] Pengertian seperti itu akan menimbulkan fitnah dan penghinaan terhadap salah seorang Nabi Allah yang mulia. Bahkan, ad-Daqaq dan Ibnu Faruq akan menolak penggunaan mafhum al-laqab di dalam menafsirkan ayat ini, karena dapat mengakibatkan makna yang absurd. Jadi, dalam hal ini kita harus menolaknya mentah-mentah.

Akar Kesalahan: Syariat Sebelum Kita

Penjelasan di atas semata-mata untuk melindungi Nabi Yusuf a.s. dari fitnah. Adapun yang kesalahan sebenarnya dari argumen itu adalah bahwa mereka mengatakan beliau a.s. berpartisipasi dalam sistem yang tidak Islami, dan konsekuensinya, kita pun boleh berpartisipasi dalam sistem yang tidak Islami, yang kini ada di hadapan kita. Klaim ini dibangun di atas anggapan bahwa syariat Yusuf a.s. sah untuk kita ikuti. Ini adalah prinsip yang lemah. Jadi, seandainya saja Nabi Yusuf a.s. berpartisipasi dalam pemerintahan berdasarkan syariat sang raja (sesuatu yang tidak masuk akal), hal ini tetap tidak menjadi sesuatu yang bisa diikuti oleh kaum Muslim. Hal ini karena kaum Muslim terikat dengan syariat yang datang melalui nabi terakhir, Muhammad saw.

Memang ada sebagian ulama yang menerima prinsip ini. Namun, tetap saja para ulama itu menetapkan syarat pemberlakuannya, yaitu syariat sebelum kita adalah juga syariat bagi kita selama tidak bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw[7]. Inilah pandangan yang ada terhadap masalah ini; tidak ada alim ulama mana pun yang memiliki pandangan selain dua pandangan tersebut. Tentu saja konyol bila kita katakan bahwa aturan nabi sebelum Muhammad saw. dapat mengalahkan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw. Hal yang sama juga berlaku bagi prinsip lain yang juga lemah, meskipun absah, yang mereka coba gunakan untuk menjustifikasi perbuatan mereka, yaitu prinsip maqasid asy-syariah (tujuan-tujuan syariat), substansi dalil, mashalih al-mursalah (kemaslahatan umum), atau memilih yang lebih sedikit madharatnya (ahwan adh-dharain). Tidak ada satu pun dari prinsip-prinsip tersebut yang bisa digunakan karena akan bertentangan dengan nash-nash syara’. Imam al-Ghazali, al-Amidi, dan Ibnu Hajib meriwayatkan suatu Ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa tidak ada dalil umum yang dapat digunakan untuk masalah khusus tanpa pertama-tama melihat dalil yang juga khusus. Oleh karena itu, sebelum merujuk pada sumber hukum sekunder, seperti prinsip yang absah tapi lemah ‘syariat sebelum kita’ itu, pertama-tama kita harus merujuk pada dalil khusus dari Rasulullah saw.

Dalam kasus yang sekarang kita hadapi, pendapat mana pun yang diadopsi, kuat atau lemah, tidak ada analogi lain yang bisa ditarik dari dua fakta itu: perbuatan Yusuf a.s. dan berpartisipasi dalam pemerintahan sistem kufur sekarang ini. Perbuatan semacam itu akan bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw., dalam banyak ayat al-Quran, misalnya ayat berikut:

وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ ﴿٤٩﴾

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. al-Maa-idah [5]: 49)

Sebagai kesimpulan atas kisah Nabi Yusuf a.s., itu bukanlah pendapat yang masuk akal, baik itu dilihat dari pernyatakan bahwa beliau a.s. berpartisipasi di dalam sistem sebagai administrator dan bukan sebagai penguasa; atau bahwa beliau a.s. bertanggung jawab atas keseluruhan sistem; atau bahwa syariat yang beliau bawa tidak lagi sah pada saat ini; atau bahwa syariat itu sah kecuali apabila bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw. Sungguh, tidak ada satu pun dari pendapat-pendapat itu yang bisa digunakan untuk membenarkan keikutsertaan dalam sistem kufur yang saat ini berlaku di mana-mana. Perbuatan tersebut adalah salah satu pelanggaran terbesar terhadap aturan Allah Swt., karena hal itu berarti membiarkan pelakunya berhukum dengan hukum-hukum kufur. Jika diyakini, hal itu membuat sang pelaku kafir, dan jika tidak diyakini, minimal membuat dirinya dzalim atau fasik.

(Sumber: The Fiqh of Minorites – the New Fiqh to Subvert Islam; Asif K. Khan aktivitis Hizbut Tahrir Inggris)

Senin, September 15, 2008

Tokoh Penyesat Umat

oleh: Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al Maidani
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits:

(يَتَقَارَبُ الزّمَانُ، وَيَنْقُصُ العلم، وَيُلْقَىَ الشُّحُّ، وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ، وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ). قالوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أيُّمَا هُوَ؟ قَالَ: (الْقَتْلُ الْقَتْلُ).

“Masa saling berdekatan, ilmu berkurang, kepelitan tersebar, berbagai fitnah muncul, dan banyak kekacauan.” Mereka bertanya: ”wahai Rasulullah, apakah kekacauan itu?’ Beliau menjawab: “pembunuhan demi pembunuhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu)
Disini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan tentang sebuah masa yang sangat buruk. Di mana ilmu berkurang, kepelitan tersebar, serta muncul berbagai fitnah, dan kekecauan. Masa kita ini adalah saat yang tepat untuk kita memahami hadits diatas. Di zaman ini, ilmu telah sedemikian berkurang, sehingga sangat langka untuk kita temui di tengah masyarakat muslimin, seorang yang bisa disebut sebagai ulama. Kondisi ini semakin diperparah dengan kemunculan berbagai fitnah dan kekacauan di tengah-tengah mereka.



Termasuk yang perlu kita waspadai di masa ini dari sekian fitnah dan keributan yang terjadi adalah para tokoh penyesat umat.



Di dalam hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:



وَإِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي َاْلأَئِمَةَ الْمُضِلِّينَ



“Hanya saja yang aku khawatirkan atas umatku adalah para pemimpin (baca: tokoh) yang menyesatkan.” (HR. Ahmad dan Ad-Darimi dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Al Imam Muslim, sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh Al Albani rahimahullah dalam As-Shahihah 4/110)
Dalam hadits diatas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan kata ‘hanya saja’ menunjukkan bahwa kekhawatiran beliau terhadap para pemimpin (baca:tokoh) yang menyesatkan sedemikian kuat. Karena mereka adalah bahaya laten bagi kaum muslimin. Mereka sangat mampu untuk menyesat umat ini dari jalan Allah.
Allah berfirman mengenai orang-orang yang binasa:



وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا



“Dan mereka berkata: “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah menta`ati para pemimpin dan pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (Al-Ahzab: 67)
Maka kita perlu berhati-hati dari bahaya laten para tokoh yang menyesatkan. Mereka memiliki lisan yang mampu untuk menyesatkan umat dengan mengolah kata dan bersilat lidah. Demikianlah keadaan mereka.
Maka ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya oleh Ziyad bin Fudhail:
“Apa yang dapat menghancurkan Islam?” ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Yang menghancurkan Islam adalah ketergelinciran seorang yang ‘alim, dan seorang munafik yang berdebat dengan menggunakan al-kitab.”
Ini adalah bahaya laten bagi kaum muslimin. Mereka akan menyesatkan kaum muslimin dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menggunakan dalil-dalil syar’i namun bukan pada tempatnya. Demi Allah, pada masa ini, masyarakat kita dikepung oleh tipikal-tipikal pemimpin maupun tokoh yang seperti ini. Menyeruak di sekitar mereka, para ulama su` (jahat) yang dengan segala kelihain dan kelicikan, menyesatkan umat dengan berbagai syubhat dan kerancuan pemikiran. Oleh karena itu, kita dituntut untuk mewaspadai suasana genting ini, dengan mempelajari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dari para ulama yang mengamalkan dan memperjuangkan agama Allah dengan segala yang mereka miliki. Inilah satu-satunya penanganan yang paling efektif dalam menanggulangi gejolak fitnah yang sedahsyat itu.
Berapa banyak orang yang menyuarakan kebenaran, namun sedikit diantara mereka yang bisa menunjukkan bahwa yang benar itu adalah benar, dan dia benar-benar di atas yang benar . Oleh sebab itu, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menegaskan: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak mendapatkannya.”
Para pemimpin atau tokoh penyesat umat lebih berbahaya bagi kaum muslimin daripada musuh-musuh Allah yang menyerang dari luar lingkup kaum muslimin. Apakah mereka dari kalangan Yahudi maupun Nashara. Kalau mereka dari kalangan orang-orang yang kafir, tentunya kebanyakan kaum muslimin waspada terhadap berbagai makar mereka. Namun bagaimana dengan musuh dalam selimut yang berbaju sama, berkopiah sama, dan berpenampilan sama seperti kaum muslimin, bahkan beramal pada sebagian amalan, sama seperti kaum muslimin. Mereka shalat seperti kaum muslimin, dan berbicara dengan lisan/bahasa kaum muslimin. Akan tetapi mereka adalah para penyeru kepada neraka jahannam.
Di dalam hadits Hudzaifah bin Al Yamaan radhiyallahu ’anhu disebutkan:



(نَعَمْ، دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا). قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، صِفْهُمْ لَنَا؟ فَقَالَ: (هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا).



“Ya, para da’i yang mengajak kepada pintu-pintu neraka jahannam. Barangsiapa yang memehuhi panggilan mereka, mereka akan mencampakkannya ke dalam neraka jahanam itu.” Aku bertanya: “wahai Rasulullah! Sebutkan ciri-ciri mereka kepada kami”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mereka dari jenis kita dan berbicara dengan lisan-lisan (bahasa-bahasa) kita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Inilah bahaya laten yang sangat kejam dalam membinasakan kaum muslimin . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ



“Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu.” (Al-An’am: 119)



بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَمَنْ يَهْدِي مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ


“Tetapi orang-orang yang dzalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan, maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan oleh Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.” (Ar-Rum: 29)
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari kejahatan para tokoh penyesat umat. Wallahu a’lam bish shawab

Menolak Relativisme "Iman" dan " Kufur"

Paham relativ melahirkan "isme" baru yang disebut dengan "bingungisme". Paham seperti ini sudah tak mampu membedakan mana haq dan mana bathil

Konsep aqidah dalam Islam “Al-Quran dan sunnah”dijelaskan oleh Allah s.w.t. dan Nabi Muhammad s.a.w. dengan sangat detail. Maka istilah "iman-kufur" bukan terminologi relatif. Ia merupakan istilah "final", tidak bisa dikutak-katik lagi. Keduanya selalu vis-a-vis, laiknya terma-terma yang lain, semisal: haq-batil, thayyib-khabits, dsb.

Oleh karenanya, isu-isu keagamaan yang berkaitan dengan konsep ini sangat mudah untuk diidentifikasi dan dihukumi. Kasus Ahmadiyah, misalnya, sebenarnya tidak ada seorangpun yang meragukan letak "benar-salah"nya. Oleh karenanya, kaum liberal-sekular yang mengusung konsep "relativisme" salah besar ketika menyatakan bahwa Ahmadiyah itu dalam Islam. Karena lewat timbangan Al-Quran-Sunnah saja sudah "tidak lulus". Pada gilirannya, mereka sama sesatnya. Karena "man tasyabbaha biqawmin fahuwa minhum".

Kaum liberal, sangat lihai dalam memanipulasi ayat-ayat yang menurut mereka mendukung konsep pemikirannya. Misalnya, Qs. Al-Baqarah [2]: 256 selalu dijadikan bamper oleh mereka. Kata "laa ikraaha fi al-diin", senantiasa dijadikan entry-point untuk menusukkan "jarum" relativisme ini. Di sini mereka ingin menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Karena agama itu sama, sama-sama benar. Ia ibarat "jari-jari": banyak tapi menuju satu titik “tengah”yang satu (Allah). Bahkan ada yang menyatakan bahwa perbedaan agama itu letaknya pada tatara eksoteris saja. Pada tataran esoteris"nya semua agama adalah sama.

Jika dilihat secara kritis, kata "laa ikraaha" sebenarnya seperti yang dikatakan oleh Imam al-Harali, seperti yang dikutip oleh al-Biqa"i, bahwa di sana ada "pemaksaan halus" (al-ikraah al-khafiy). (Lihat, Imam Burhan al-Din Abu al-Hasan Ibrahim ibn "Umar al-Biqa"i (w. 885 H), Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-"Ilmiyyah, cet. 1995), I: 500). Kenapa? Bukan karena agama itu sama-sama benar, tapi karena "kebenaran dan kesesatan" telah jelas (qad tabayyana al-rusyd min al-ghayy). Ini adalah sindiran dari Allah s.w.t.

Iman-kufur dalam Islam jelas konsekuensinya, tidak kabur. Karena jika ada iman, maka akan ada kufur. Jika ada kebenaran maka ada kesesatan. Tidak mungkin semua agama itu "benar" atau seluruhnya "salah". Ini justru merancukan konsep agama dan ajarannya. Dengan sangat gamblang, Allah s.w.t. menjelaskan bahwa siapa yang secara "lapang dada" kufur (menjadi kafir), maka ia akan mendapat murka Allah dan mendapat azab yang pedih (Qs. Al-Nahl [16]: 106). Mereka itulah yang menurut Allah: (1) lebih mencintai dunia daripada akhirat; (2) dikunci hati, pendengaran dan penglihatannya, sehingga menjadi lalai (ghafil); (3) dan di akhirat merugi (Qs. Al-Nahl [16]: 107-109). Jika kekufuran itu "relatif", maka Allah akan menjadikan konsekuensinya juga "relatif", tidak mutlak seperti yang kita lihat di atas.

Masalah "iman-kufur" tidak sesederhana yang dikemukakan oleh kaum Sepilis (penganut sekularisme, pluralisme dan liberalisme, red). Apa yang mereka kemukakan adalah "kulit-kulit" konsep iman. Maka wajar jika hasilnya relatif. Maka ketika ada zikir "Anjinghu Akbar", dalam pandangan mereka tidak bermasalah. Karena itu adalah lisan, bukan hati, katanya. Bisa jadi hatinya penuh dengan keimanan kepada Allah s.w.t.

Ini bisa dibalikkan dengan: bagaimana jika hati pengucapnya penuh dengan "Anjinghu Akbar"? Karena menurut Imam al-Biqa"i “ketika menjelaskan surat al-Nahl di atas”, hakikat iman-kufur itu berkaitan dengan hati, bukan lisan. Lisan hanya sekadar pengekspresi (mu"abbir) dan penerjemah serta pengenal (tarjuman mu"arrif) apa yang ada dalam hati...(Ibid., II: 314). Nah, jika yang keluar dari lisan itu bersih, indikasi bahwa hati itu bersih. Sebaliknya, jika setiap yang keluar dari lisan itu adalah kata-kata keji, kotor, hujatan, ini mengindikasikan bahwa sang hati ketika itu sedang "sakit kronis".

Maka, fenomena munculnya aliran-aliran sesat di Indonesia tidak harus melahirkan perdebatan panjang di kalangan umat Islam. Karena masalahnya jelas, masalah aqidah. Dan aqidah timbangannya adalah Al-Quran-Sunnah.

Salamullah Lia Eden; Ahmadiyah “baik Qadyaniyah maupun Lahore”; al-Qiyadah al-Islamiyah Ahmad Moshaddeq, dsb adalah aliran-aliran sesat. Dan kesesatan ini adalah fixed price, tidak mungkin ditawar lagi apalagi direlatifkan. Kenapa? Karena jelas bertentangan dengan Al-Quran-Sunnah. Dan pada gilirannya, relativisme ini melahirkan "isme" baru yang disebut dengan "bingungisme". Sehingga kaum Sepilis yang menyatakan bahwa semua agama itu benar sebenarnya terjebak oleh self-relativism mereka sendiri. Bukankah ini membingungkan?

* Penulis adalah staf pengajar di PP. Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara. Peminat dan intens dalam Qur"anic-Hadith Studies & Christology. Sekarang sedang mengikuti Program Kaderisasi Ulama (PKU) di Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) di Institut Studi Islam Darussalam, Gontor-Ponorogo, Jawa Timur