Selasa, Oktober 14, 2008

MEMAHAMI ISTILAH KHILAFAH DAN IMAMAH

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pengantar
Istilah Khilafah dan Imamah sebetulnya sinonim, yang berarti sistem pemerintahan Islam. Namun oleh segelintir orang, kedua istilah itu dianggap berbeda pengertiannya. Ulil Abshar Abdalla, bekas Koordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) misalnya, memandang ada perbedaan antara Khilafah dan Imamah, begitu juga istilah turunannya seperti imam dan khalifah. Ulil menyatakan, “Imam di sini adalah penguasa dalam pengertian umum. Dalil-dalil agama tentang wajibnya mengangkat imam, menurut Ulil, hanya menegaskan saja hukum sosial yang sudah berlaku berabad-abad. Salah satu hukum sosial itu adalah bahwa setiap masyarakat selalu akan mengangkat seorang pemimpin yang mengatur dan menyelenggarakan kepentingan mereka. Dan pemimpin itu, kata Ulil, “Bisa kepala suku, lurah, camat, bupati, raja, sultan, khalifah, presiden, CEO, manager, dan lain-lainnya. (www.harianbangsa.com).

Walhasil bagi Ulil, Imamah itu berarti kepemimpinan yang bersifat umum. Sedangkan, Khilafah, adalah kepemimpinan yang lebih khusus, yang kata Ulil, berdasarkan sejarah Islam bentuknya adalah kerajaan. Khilafah seperti ini, menurut Ulil, hanyalah suatu kebetulan sejarah (historical coincidence). Karena itu, sistem itu dapat diganti sesuai asas rasionalitas, yang bagi Ulil adalah aplikasi doktrin Ahlus Sunnah bahwa penentuan imam bukanlah berdasarkan teks agama (seperti pendapat golongan Syiah), melainkan berdasarkan ijtihad dan pilihan (ikhtiyar). Ujung-ujungnya, Ulil ingin menegaskan bahwa sistem republik (bukan kerajaan) saat ini yang berdasarkan demokrasi, adalah sudah final dan merupakan sistem paling ideal hingga saat ini. (www.harianbangsa.com)
Pengertian Khilafah dan Imamah


Pendapat Ulil yang membedakan istilah "imamah" dan "khilafah" di atas memang harus diakui. Tapi bukan diakui sebagai pernyataan ilmiah, melainkan sebagai dagelan yang cukup menggelikan. Betapa tidak, karena kalau pendapat Ulil itu dibandingkan dengan pendapat para ulama fikih siyasah dan ulama bahasa Arab, akan terbukti Ulil hanyalah orang awam (untuk tidak menyebutnya "bodoh"). Dan kita harus maklum, orang awam itu kadang bicaranya ngawur dan aneh. Dalam konteks seperti inilah, tepat sekali pernyataan Imam Ibnu Hajar Al-'Asqalani,Idza takallama al-mar`u fi ghairi fannihi ataa bi hadzihi al-'aja'ib. (Jika seseorang berbicara di luar bidang keahliannya, dia akan mengucapkan kalimat yang ajaib). (Ibnu Hajar Al-'Asqalani, Fathul Bari, Juz 3/683).

Coba, kita lihat pendapat Imam Ar-Razi mengenai istilah Imamah dan Khilafah dalam kitab Mukhtar Ash-Shihah hal. 186 :

"Khilafah atau Imamah 'Uzhma, atau Imaratul Mukminin semuanya memberikan makna yang satu [sama], dan menunjukkan tugas yang satu [sama], yaitu kekuasaan tertinggi bagi kaum muslimin. (Lihat Muslim Al-Yusuf, Daulah Al-Khilafah Ar-Rasyidah wa Al-'Alaqat Ad-Dauliyah, hal. 23; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8/270).

Mari kita lihat juga pendapat serupa dari Imam Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah hal. 190 :

"Telah kami jelaskan hakikat kedudukan ini [khalifah] dan bahwa ia adalah pengganti dari Pemilik Syariah [Rasulullah SAW] dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama. [Kedudukan ini] dinamakan Khilafah dan Imamah, dan orang yang melaksanakannya [dinamakan] khalifah dan imam. (Lihat Ad-Dumaiji, Al-Imamah Al-'Uzhma 'Inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jama'ah, hal. 34).

Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz 8 hal. 418 menyatakan pendapat serupa :

"Khilafah (atau Imamah atau Imaratul Mukminin) atau yang berarti sistem berdasarkan musyawarah yang menghimpun kemaslahatan dunia dan akhirat, semuanya mempunyai pengertian yang sama. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8/418).

Dhiya'uddin Ar-Rays dalam kitabnya An-Nazhariyat As-Siyasiyah Al-Islamiyah hal. 92 mengatakan :
"Patut diperhatikan, bahwa Khilafah, Imamah Kubra, dan Imaratul Mukminin adalah istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama. (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8/465).

Semua kutipan ulama di atas menyatakan bahwa istilah Imamah dan Khilafah (juga Imaratul Mukminin) maknanya sama, tidak berbeda. Persis seperti halnya kalau kita menyebut nama kitab suci kita. Boleh ia disebut Al-Qur`an, Al-Kitab, Al-Furqan, atau At-Tanzil. Walau berbeda-beda namanya, tapi hakikat pengertiannya tetap satu dan sama.

Kutipan-kutipan yang menunjukkan kesamaan makna Khilafah dan Imamah itu masih banyak sekali. Silakan cek pendapat yang sama dari Rasyid Ridha dalam kitabnya Al-Khilafah Aw Al-Imamah Al-'Uzhma hal. 101, Prof. Dr. Ali As-Salus dalam kitabnya 'Aqidah Al-Imamah 'Inda Asy-Syi'ah Al-Itsna 'Asyariyah (terj.) hal. 16, Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya Membentuk Negara Islam hal. 30, dan Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Islam dan Politik Bernegara hal. 42-43.

Silakan cek juga pendapat para ulama bahasa Arab (ahli kamus) yang menyamakan arti Imamah dan Khilafah, misalnya Rawwas Qal'ah Jie dan Hamid Shadiq Qunaibi dalam Mu'jam Lughah Al-Fuqaha` hal. 64, 150, dan 151; juga Ibrahim Anis dkk dalam Al-Mu'jam Al-Wasith Juz 1 hal. 27 dan 251.

Jika Imamah dan Khilafah pengertiannya sama, demikian juga istilah imam dan khalifah. Keduanya sama-sama berarti pemimpin tertinggi dalam negara Khilafah, tidak berbeda. Ini sebagaimana pernyataan Ibnu Khaldun yang telah dikutip di atas. Imam Nawawi dalam Raudhah Ath-Thalibin Juz 10 hal. 49 menegaskan hal yang sama :

"Boleh saja imam itu disebut dengan khalifah, imam, atau amirul mukminin. (Lihat Ad-Dumaiji, Al-Imamah Al-'Uzhma, hal. 34).


Nah, setelah kita bentangkan pendapat para ulama yang ahli seperti di atas, lalu kita bandingkan dengan pendapat Ulil yang dangkal dan sembrono, bagaimana pendapat Anda? Bukankah pendapat Ulil itu betul-betul menggelikan dan terkesan seenaknya sendiri?

Namun, yah, kita harus maklum, nampaknya Ulil memang “harus melakukan permainan kotor seperti itu, yang sesungguhnya amat jauh dari etika seorang intelektual yang seharusnya jujur dan obyektif. Demikianlah ulah agen Amerika yang sangat jahat, yaitu selalu berusaha menyesatkan umat Islam dari pemahaman yang sahih tentang Islam.

Mengapa Imamah dan Khilafah Semakna?
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, atas dasar apa para ulama menyamakan pengertian Imamah dan Khilafah? Di sinilah Imam Taqiyuddin An-Nabhani memberi penjelasan yang gamblang dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz 2. Imam An-Nabhani berkata,Telah terdapat hadits-hadits shahih dengan dua kata ini [Khilafah dan Imamah] dengan makna yang satu. Tidak ada makna dari salah satu kedua kata itu yang menyalahi makna kata yang lain, dalam nash syariah mana pun, baik dalam Al-Qur`an maupun dalam As-Sunnah, sebab hanya dua itulah yang merupakan nash-nash syariah. Tidaklah wajib berpegang dengan kata ini, yaitu Khilafah atau Imamah, tapi yang wajib ialah berpegang dengan pengertiannya. (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz 2/13).

Jadi, Khilafah dan Imamah memiliki arti yang sama dikarenakan nash-nash syariah, khususnya hadits-hadits shahih, telah menggunakan dua kata itu, yaitu kata “imam atau “khalifah secara bergantian namun dengan pengertian yang sama. Sebagai contoh, terkadang Rasulullah SAW menggunakan kata “khalifah seperti sabdanya :
"Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (HR. Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, lihat Majma' az- Zawaid, Juz 5/198. Juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, lihat Syarah Muslim oleh Imam Nawawi, Juz 12/242).

Namun kadang Rasulullah SAW menggunakan kata “imam seperti sabdanya :

"Barangsiapa membaiat seorang imam, lalu ia memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya kepadanya, hendaklah ia mentaati imam itu sekuat kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaan imam itu, maka penggallah leher orang lain itu. (HR Muslim, hadits no. 1844. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa`i, dan Ahmad).

Kata “khalifah dan “imam dalam kedua hadits di atas mempunyai pengertian yang sama, yaitu pemimpin tertinggi dalam Negara Islam (ar-ra`is al-a'la li ad-daulah al-islamiyah). (Lihat Rawwas Qal'ah Jie & Hamid Shadiq Qunaibi, Mu'jam Lughah Al-Fuqaha`, hal. 64 & 151). Jika “khalifah dan “imam sama pengertiannya, maka sistem pemerintahan yang dipimpinnya, yaitu “khilafah dan “imamah, juga sama maknanya. Tidak berbeda.

Antara Khilafah dan Imarah
Dalam hadits-hadits shahih memang ada pembahasan kepemimpinan dalam pengertian umum. Kepemimpinan dalam arti umum ini disebut dengan istilah Imarah, Qiyadah, atau Ri'asah. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menerangkan,Imarah (kepemimpinan) itu lebih umum, sedangkan Khilafah itu lebih khusus, dan keduanya adalah kepemimpinan (ri`asah). Kata Khilafah digunakan khusus untuk suatu kedudukan yang sudah dikenal, sedangkan kata Imarah digunakan secara umum untuk setiap-tiap pemimpin (amir). (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz 2 hal.125).

Hadits tentang Imarah misalnya sabda Nabi SAW :

Jika keluar tiga orang dalam sebuah perjalanan, hendaklah satu orang dari mereka menjadi pemimpinnya. (HR. Abu Dawud).

Dengan demikian, jelaslah, bahwa kepemimpinan dalam arti yang umum, memang juga diterangkan dalam Islam. Tapi istilahnya Imamah seperti khayalan dan tipuan Ulil, melainkan Imarah. Imarah inilah yang bersifat umum, sehingga mencakup kepala suku, lurah, camat, bupati, raja, sultan, khalifah, presiden, CEO, manager, dan sebagainya.

Jadi, kalau Ulil menganggap istilah “imam berarti pemimpin dalam arti umum, bukan pemimpin yang khusus (yaitu pemimpin tertinggi negara Khilafah), berarti dia telah sengaja melakukan penyesatan dan pembodohan yang jahat. Dan semua kebohongan ini ternyata mempunyai tujuan yang sangat busuk, yaitu melegitimasi sistem demokrasi yang kufur saat ini, yang sesungguhnya sudah terbukti sangat bobrok dan gagal total.



DAFTAR PUSTAKA


Ad-Dumaiji, Abdullah bin Umar bin Sulaiman, Al-Imamah Al-'Uzhma 'Inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jama'ah, (www.saaid.net), 1987.

Ahmad, Zainal Abidin, Membentuk Negara Islam, (Jakarta : Penerbit Widjaya), 1956.

Al-Yusuf, Muslim, Daulah Al-Khilafah Ar-Rasyidah wa Al-'Alaqat Ad-Dauliyah, (www.saaid.net).

An-Nabhani, Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz 2, (Beirut : Darul Ummah), 2002.

Anis, Ibrahim dkk, Al-Mu'jam Al-Wasith, (Kairo : Tanpa Penerbit), 1972.

As-Salus, Ali, Imamah dan Khilafah dalam Tinjauan Syar'i (Aqidah Al-Imamah 'Inda Asy-Syi'ah Al-Itsna 'Asyariyah), Penerjemah Asmi Salihan Zamakhsyari, (Jakarta : Gema Insani Press), 1997.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Islam dan Politik Bernegara, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra), 2002

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8, (Maktabah Syamilah).

Qal'ah Jie, Rawwas, & Qunaibi, Hamid Shadiq, Mu'jam Lughah Al-Fuqaha`, (Beirut : Darun Nafa`is), 1988.



KHILAFAH MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pengantar
Telaah kitab kali ini akan mengupas kitab berharga tentang Khilafah. Judulnya Al-Imamah al-'Uzhma 'Inda Ahl As-Sunnah wa al-Jama'ah, karya Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji (terbit 1987). Kitab setebal 718 halaman ini ditulis Ad-Dumaiji sebagai tesis untuk meraih gelas magister di Universitas Ummul Quro Mekah tahun 1983. Setelah diadakan ujian (munaqasyah) oleh Dewan Penguji, Ad-Dumaiji pun dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude (mumtaz). Di antara Dewan Penguji itu adalah Syaikh Sayyid Sabiq, seorang ulama yang terkenal dengan kitabnya Fiqih Sunnah.

Bagi para pejuang Khilafah, dan juga umat pada umumnya, kitab ini sangatlah penting. Karena di samping memberikan wawasan ilmiah yang luas mengenai Khilafah, juga akan semakin menambah keyakinan dan kemantapan dalam berjuang. Betapa tidak, karena kitab ini membuktikan Khilafah adalah sangat penting bagi tegaknya Islam dalam kehidupan. Khilafah juga mutlak adanya untuk mengembalikan kemulian umat. Dalam salah satu butir kesimpulannya, Ad-Dumaiji mengatakan,"Tidak ada kemuliaan dan ketinggian derajat bagi umat Islam, kecuali dengan kembali berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta berjuang menegakkan Khilafah Islamiyah yang akan menjaga agama Islam dan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam." (hal. 516-517)
Garis Besar dan Latar Belakang Kitab
Kitab ini secara garis besar ingin membahas isu-isu terpenting dalam Khilafah, seperti definisi Khilafah dan wajibnya Khilafah, walaupun tidak semua aspek dalam Khilafah terbahas, misalnya lembaga-lembaga negara dalam Khilafah secara lengkap. Ad-Dumaiji membagi kitabnya dalam sebuah mukaddimah, dua bab isi, dan sebuah bab kesimpulan. Dua bab isi itu, yang pertama, mengenai Imamah (Khilafah) menurut Ahlus Sunnah. Yang kedua, mengenai Imam (Khalifah) menurut Ahlus Sunnah.

Bab yang pertama dirinci lagi menjadi empat sub-bab, yaitu : (1) definisi Imamah, (2) wajibnya Imamah dan dalil-dalilnya, (3) tujuan-tujuan Imamah, dan (4) metode pengangkatan Imam. Bab yang kedua juga dirinci lagi, menjadi empat sub-bab, yaitu : (1) syarat-syarat Imam, (2) hak dan kewajiban Imam, (3) pemberhentian Imam, (4) berbilangnya Imam. Bab kesimpulan berisikan 26 butir-butir kesimpulan dari keseluruhan uraian kitab yang panjang lagi lebar.

Sebelum dilanjutkan, perlu klarifikasi dulu mengenai istilah Khilafah dan Imamah. Kedua istilah ini sebenarnya sama saja maknanya alias sinonim. Dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu Juz 9 hal. 881, Wahbah Az-Zuhaili berkata, “Patut diperhatikan, bahwa Khilafah, Imamah Kubra, dan Imaratul Mu`minin merupakan istilah-istilah yang sinonim (mutaradif) dengan makna yang sama." Jadi, Imamah sama dengan Khilafah, dan Imam sama dengan Khalifah. Ad-Dumaiji sendiri dalam kitabnya hal. 34 juga mengutip pendapat senada dari Muhammad Najib Al-Muthi'i. Dalam takmilah (catatan pelengkap) yang dibuatnya untuk kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi (Juz 17/517), Al-Muthi'i berkata,"Khilafah, Imamah, dan Imaratul Mu`minin adalah sinonim."

Lalu apa latar belakang Ad-Dumaiji menulis kitabnya ini? Ad-Dumaiji menerangkan dalam Mukadimah (hal. 7-10), bahwa yang mendorongnya adalah adanya upaya-upaya jahat berupa tasywih (pencitra-burukan) dan tadnis (pencemaran) terhadap ajaran Khilafah yang telah ada sejak masa awal Islam hingga masa modern kini. Ad-Dumaiji memberikan beberapa contohnya (hal. 8-9). Misalnya pendapat Abdul Hamid Mutawalli dalam Mabadi` Nizham Al-Hukm hal. 162, yang menyatakan bahwa berdirinya Khilafah seperti yang digambarkan para fukaha, adalah mustahil untuk masa sekarang. Contoh lain adalah pendapat Syaikh al-Maraghi (penulis Tafsir Al-Maraghi) yang berkata,"Dimungkinkan sebuah pemerintahan Islam keluar dari agama Islam lalu menjadi sebuah pemerintahan sekuler. Tidak ada larangan untuk itu…seperti halnya negara Turki yang baru." (Musthofa Shabri, Mauqif Al-'Aql wa Al-'Ilm wa Ad-Din, Juz 4/285).

Latar belakang inilah yang membuat Ad-Dumaiji sangat prihatin dan sekaligus menentukan tujuan penulisan tesisnya. Ad-Dumaiji menyatakan bahwa kitabnya bertujuan untuk membersihkan konsep Imamah dari segala macam debu dan kotoran yang menempel sehingga konsep Imamah menjadi jelas bagi siapa saja yang hendak mencari kebenaran (thalibul haq) (hal. 10).

Beberapa Keunggulan Kitab
Setiap kitab punya keterbatasan dan keunggulan. Oleh Ad-Dumaiji sendiri, diakuinya bahwa kitabnya tidaklah membahas Khilafah secara komprehensif, sebagaimana tujuan awalnya (hal. 10-11). Setelah mengumpulkan sekitar 260 referensi dan menelitinya selama dua tahun, Ad-Dumaiji, akhirnya “menyerah" dan membatasi cakupan pembahasannya. Ad-Dumaiji akhirnya hanya menulis dua bab untuk delapan sub-bab sebagaimana sudah diuraikan di atas.

Untuk itu Ad-Dumaiji “hanya" menulis sebanyak 718 halaman, yang sebenarnya itu pun sudah lumayan tebal. Bandingkan dengan kitab-kitab fiqih siyasah sejenis, semisal kitab Muqaddimah fi Fiqh An-Nizham As-Siyasi Al-Islami karya Muhammad Syakir Asy-Syarif (61 halaman). Atau kitab An-Nizham As-Siyasi fi Al-Islam karya Dr. Mazin bin Shalah Mathbaqani (63 halaman). Juga kitab Hablul I'tisham fi Wujub Al-Khilafah fi Din Al-Islam karya Sayyid Muhammad Habib al-Mushili (139 halaman). Atau kitab Fiqh Al-Ahkam As-Sulthoniyah karya Abdul Karim Muhammad Muthi' Al-Hamdawi (363 halaman).

Namun demikian, bagaimana pun juga, di balik keterbatasan cakupannya, kitab Ad-Dumaiji ini patut mendapat pujian. Selain ditulis dengan penuh kesungguhan dan kecermatan, kitab ini juga mempunyai beberapa keunggulan. Di antaranya :

1. Kesadaran Akan Situasi Kontemporer
Ad-Dumaiji menunjukkan kesadaran yang tinggi akan situasi kontemporer umat Islam, khususnya setelah hancurnya Khilafah di Turki tahun 1924. Ad-Dumaiji misalnya berkata dengan tajam,"Ketika 'orang sakit' (Daulah Utsmaniyah) ini mati, anjing-anjing dunia (kilaab al-dunya) membagi-bagi harta warisannya, dan tertancaplah perpecahan dan permusuhan di antara putera kaum muslimin. Loyalitas (wala`) pun lalu diberikan kepada tanah air, nenek moyang, atau suku, sebagai ganti dari loyalitas dan kecintaan kepada Allah dan karena Allah." (hal. 7-8).

Tak hanya mempunyai kesadaran politik, Ad-Dumaiji juga mempunyai wawasan pemikiran politik modern yang memadai. Karenanya dia dapat menilai bahwa,"Sistem pemerintahan dalam Islam berbeda dengan seluruh sistem-sistem pemerintahan buatan manusia, baik yang dahulu maupun sekarang. Perbedaan di antaranya terdapat dalam tujuan, sarana, dan target…" (hal. 575)

Maka bagaikan bumi dan langit, kalau kita bandingkan kesadaran itu dengan kesadaran sebagian ulama negeri ini yang terpengaruh oleh sistem demokrasi yang ada. Mereka gagal memahami perbedaan mendasar antara sistem Khilafah dengan sistem demokrasi yang kufur. Sebagai contoh, ada ulama yang menganggap bahwa lembaga demokrasi sekarang (DPR dan MPR) adalah sepadan dengan Ahlul Halli wal Aqdi sebagaimana uraian oleh Imam Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah. Padahal Imam Mawardi bicara dalam konteks sistem Imamah (Khilafah), yang berprinsip kedaulatan di tangan syariah. Bukan dalam sistem demokrasi-sekular, yang berprinsip kedaulatan di tangan rakyat.

2. Metode Penulisan Yang Adil
Ad-Dumaiji dalam kitabnya sering kali harus membahas dan menilai berbagai pendapat, baik pendapat yang memang khilafiyah maupun pendapat asing yang lahir dari ideologi kapitalisme-sekular.

Dalam menghadapi masalah khilafiyah, Ad-Dumaiji senantiasa memaparkan hujjah (dalil) masing-masing pendapat, lalu melakukan tarjih untuk memilih pendapat yang terkuat. Jadi tidak sepihak langsung menyatakan pendapat yang dipilih. Sebagai contoh, ada khilafiyah mengenai hukum wajibnya Khilafah, apakah wajibnya itu berdasarkan syara' (pendapat Ahlus Sunnah) atau berdasarkan akal (pendapat Mu'tazilah). Ad-Dumaiji pun memaparkan dalil masing-masing lalu mentarjih yang terkuat, yaitu wajibnya Khilafah itu adalah berdasarkan syara' bukan akal (hal. 65-71).

Dalam menghadapi pendapat asing pun Ad-Dumaiji juga bersikap adil. Terhadap sebagian intelektual yang menolak wajibnya Khilafah, seperti Ali Abdur Raziq (dalam kitabnya Al-Islam wa Ushul al-Hukm), Abdul Hamid Mutawalli (dalam kitabnya Mabadi` Nizham Al-Hukm fi Al-Islam), dan Khalid Muhammad Khalid (dalam kitabnya Min Huna Nabda`), Ad-Dumaiji tetap berusaha menelusuri dan menampilkan hujjah mereka, lalu membantahnya dengan telak. Yang menarik, Ad-Dumaiji juga secara jujur menyebutkan “pertobatan intelektual" di antara penentang Khilafah itu. Tentang Khalid Muhammad Khalid, Ad-Dumaiji menulis secara objektif bahwa semula Khalid menolak wajibnya Khilafah. Lalu Khalid "bertobat" dan menarik pendapatnya serta menulis sebuah kitab Ad-Daulah fi al-Islam untuk menasakh kitab sebelumnya yakni Min Huna Nabda` (hal. 74-75). Cara penulisan yang adil dan objektif dari Ad-Dumaiji ini memang patut diteladani.

3. Memperluas Wawasan
Siapapun yang membaca buku Ad-Dumaiji ini, akan memperoleh tambahan wawasan ilmu keislaman khususnya fiqih siyasah yang tidak sedikit. Maklum saja, karena karya Ad-Dumaiji ini disajikan sebagai hasil olahan dari 260 kitab rujukan. Dan sebagaimana lazimnya penulisan ilmiah, kitab Ad-Dumaiji ini penuh dengan catatan kaki yang memudahkan pembacanya memeriksa dan meneliti rujukan aslinya.

Sebagai contoh, ketika membicarakan dalil-dalil wajibnya Khilafah, Ad-Dumaiji ternyata menemukan enam macam dalil. Dalil pertama, Al-Qur`an : yaitu QS An-Nisaa` : 59, QS Al-Ma`idah : 48-49, QS Al Hadid : 25, dan ayat-ayat hudud qishash, zakat, dan lain-lain yang pelaksanaannya dibebankan kepada khalifah. Dalil kedua, As-Sunnah, baik sunnah qauliyah maupun sunnah fi'liyah. Dalil ketiga, Ijma' Shahabat setelah wafatnya Rasul dan menjelang wafatnya Umar. Dalil keempat, kaidah syar'iyah berbunyi maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib (suatu kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya). Menegakkan syariah secara total (sebagai suatu kewajiban) tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya Khilafah, maka Khilafah wajib hukumnya. Dalil kelima, kaidah dharar, yaitu hadits laa dharara wa laa dhiraara (tidak boleh menimbulkan kemudharatan pada diri sendiri maupun orang lain). Bahwa tanpa Khilafah, umat berada dalam kemudharatan, maka Khilafah wajib ada untuk menghilangkan kemudharatan. Dalil keenam, bahwa khilafah termasuk perkara yang dituntut oleh fitrah dan adat manusia (Lihat Ad-Dumaiji, al-Imamah Al-'Uzhma, hal. 49-64).

Sungguh, penjelasan hampir 20 halaman untuk dalil-dalil wajibnya Khilafah ini sudah barang tentu akan memperluas cakrawala wawasan keilmuan muslim. Kita patut berterima kasih kepada penulisnya. Syukron ya Al-Akh Ad-Dumaiji...

Maka akan terasa aneh bin ajaib, kalau ada yang mengatakan, "Khilafah tidak ada dalilnya (nash) dari al-Qur`an dan Hadits. Khilafah hanya ijtihad para shahabat dan ulama." Sesungguhnya akan lebih sopan dan akan bisa dimaklumi kalau mereka mengatakan,"Kami belum menemukan dalil wajibnya Khilafah." Tapi kalau mengklaim Khilafah tidak ada dalilnya, sungguh ini adalah suatu kesombongan yang besar sekaligus pembodohan yang keji kepada umat Islam. Allah Azza wa Jalla akan meminta pertanggungjawaban atas perkataan batil itu di Hari Kiamat nanti. [ ]

REFERENSI

Abdusshomad, Muhyiddin, Mengkonversi Sistem Pemerintahan (Pengantar Diskusi Seputar Khilafah), http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10652

Al-Hamdawi, Abdul Karim Muhammad Muthi', Fiqih Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (www.saaid.net)

Al-Mushili, Sayyid Muhammad Habib Al-Ubaidi, Hablul I'tisham fi Wujub Al-Khilafah fi Din Al-Islam, (Al-Mushili : Tanpa Penerbit), 2003

Asy-Syarif, Muhammad bin Syakir, Muqaddimah fi Fiqh An-Nizham As-Siyasi Al-Islami, (www.saaid.net)

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 9 (Al-Istidrak), (Damaskus : Darul Fikr), 1996

Mathbaqaniy, Mazin bin Shalah, An-Nizham As-Siyasi fi Al-Islam, (www.saaid.net)

Hasil Bahtsul Masail PWNU Jatim "Khilafah" Tidak Tepat Untuk Indonesia, http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10686

DISKURSUS KHILAFAH DI MATA ULAMA

Oleh: Izzuddin
Sebagai entitas sosial, sejarah umat Islam yang tersebar ke seluruh dunia, dan kini mencapai 1,4 miliar orang itu tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Khilafah Islam. Karena itu, keberadaan dan sumbangannya kepada umat ini tidak pernah diingkari oleh siapapun, Maka, wajar jika para ulama' menyatakan, bahwa Imamah atau Khilafah merupakan perkara yang telah diyakini urgensinya di dalam konstruksi ajaran Islam (ma'lum[un] min ad-din bi ad-dharurah).
Pro-kontra seputar wajib dan tidaknya kaum Muslim menegakkan Khilafah Islam justru baru mu setelah Khilafah Islam itu sendiri”yakni Kekhilafahan Islam yang terakhir di Turki”dihancurkan oleh rezim Kemal Attaturk dengan dukungan dan rekayasa Inggris pada bulan tanggal 27 Rajab 1342 H, bertepatan dengan 3 Maret 1924 M. Setelah itu, berbagai upaya untuk mengembalikannya pun diaborsi di tengah jalan. Konferensi Kairo dan Konferensi Hijaz adalah bukti nyata keberhasilan upaya mereka. Bukan hanya itu, mereka juga mulai menghapus jejak Khilafah, dan membuat berbagai buku yang menafikan keberadaan dan kewajibannya. Sebut saja, buku al-Islam wa Ushul al-Hukm yang ditulis atas nama Syaikh 'Ali Abdurraziq, agen intelektual Inggeris, yang kemudian seluruh gelarnya dicabut oleh Universitas Al-Azhar.

Akibatnya, banyak dari generasi umat Islam saat ini yang seolah-olah tidak mengenal apa itu Khilafah. Tentu, ini sangat menyakitkan. Pasalnya, dalam sejarah, hanya Khilafahlah”selama lebih dari 13 abad lamanya”yang menjadi satu-satunya institusi yang menerapkan syariah Islam, pelayan dan pelindung umat Islam sekaligus penyebar risalah Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad.

Namun demikian, Allah SWT telah berfirman: Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. (TQS an-Nur [24]: 55). Rasulullah saw. juga pernah bersabda: Selanjutnya akan muncul kembali Kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian. (HR Ahmad).

Sebagai umat Muhammad, kita wajib mengimani janji Allah SWT dan membenarkan kabar gembira yang disampaikan oleh Rasul-Nya saw. di atas. Hanya saja, janji itu tidak bisa datang dengan sendirinya. Di sinilah, umat Muhammad ini dituntut untuk memperjuangkannya, hingga bisyarah nubuwwah tersebut benar-benar terwujud, dengan izin dan pertolongan Allah. Semoga Allah SWT memuliakan umat ini dengan kembalinya Khilafah, agar kehidupan mereka dipenuhi dengan ibadah, berkah dan ridha dari Allah SWT. Di sana, mereka bisa menjadi tentaranya, menjunjung tinggi rayah (bendera)-nya, dengan baik dan di atas kebaikan, dan agar dengannya, umat ini bisa meraih kemenangan demi kemenangan. Sungguh, Allah Mahakuasa atas semuanya itu.

Khilafah di Mata Para Ulama Terkemuka

Pertama

, hakikat Khilafah (Imamah). Menurut Imam al-Juwaini, "Imamah (Khilafah) adalah kepemimpinan menyeluruh serta kepemimpinan yang berhubungan dengan urusan khusus dan umum dalam kaitannya dengan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia." (Al-Juwaini, Ghiyats al-Umam, hlm. 5).
Dalam pandangan Imam al-Mawardi, "Imamah (Khilafah) itu ditetapkan sebagai penggganti kenabian, yang digunakan untuk memelihara agama dan mengatur dunia." (Al-Mawardi, Al-Ahkam ash-Shulthaniyah, hlm. 5).

Karena itu, menurut Ibn Khaldun, "Khilafah membawa semua urusan kepada apa yang dikehendaki oleh pandangan dan pendapat syar'i tentang berbagai kemaslahatan akhirat dan dunia yang rajih bagi kaum Muslim. Sebab, seluruh keadaan dunia, penilaiannya harus merujuk kepada Asy-Syar'i (Allah SWT) agar dapat dipandang sebagai kemaslahatan akhirat. Jadi, Khilafah, pada hakikatnya adalah Khilafah dari Shahib asy-Syar'i (Allah), yang digunakan untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia." (Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 190).

Kedua

, kewajiban menegakkan khilafah. Kewajiban menegakkan Khilafah atau mengangkat dan membaiat seorang khalifah adalah kewajiban berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Ini telah dimaklumi oleh para ulama sejak dulu. Menurut Syaikh Abu Zahrah, "Jumhur ulama telah bersepakat bahwa wajib ada seorang imam (khalifah) yang menegakkan shalat Jumat, mengatur para jamaah, melaksanakan hudûd, mengumpulkan harta dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, menjaga perbatasan, menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan hakim-hakim yang diangkatnya, menyatukan kalimat (pendapat) umat, menerapkan hukum-hukum syariah, mempersatukan golongan-golongan yang bercerai-berai, menyelesaikan berbagai problem, dan mewujudkan masyarakat yang utama. (Abu Zahrah, Tarakh al-Madzahib al-Islamiyah, hlm. 88).
Karena itu, menurut Dr Dhiya'uddin ar-Rais, "Khilafah merupakan kedudukan agama terpenting dan selalu diperhatikan oleh kaum Muslim. Syariah Islam telah menetapkan bahwa mendirikan Khilafah adalah satu kewajiban mendasar di antara kewajiban-kewajiban agama. Bahkan dia adalah kewajiban terbesar (al-fardh al-a''zham). Sebab, padanyalah bertumpu/bergantung pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya." (Ar-Rais, Al-Islam wa al-Khilafah, hlm. 99).

Senada dengan Ar-Rais, Syaikh Abdul Qadir Audah menyatakan, "Khilafah dapat dianggap sebagai satu kewajiban di antara fardhu-fardhu kifayah yang ada, seperti halnya jihad dan peradilan (al-qadha'). Jika kewajiban ini telah dilaksanakan oleh orang yang memenuhi syarat maka gugurlah kewajiban ini dari seluruh kaum Muslim. Namun, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, seluruh kaum Muslim berdosa hingga orang yang memenuhi syarat dapat melaksanakan kewajiban Khilafah ini. (Audah, Al-Islam wa Awdha'una as-Siyasiyah, hlm. 124).

Karena itulah, menurut Imam Ibn Hazm, "Para ulama telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan adanya Imam merupakan satu keniscayaan; kecuali sekte an-Najadat (sekte Khawarij)”pendapat mereka sesungguhnya telah menyalahi ijmak" (Imam al-Hafizh Abu Muhammad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri, Maratib al-Ijma' , 1/124).

Ketiga

, akibat tidak adanya Khilafah. Tidak adanya Khilafah, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, "akan ada fitnah yang sangat besar jika tidak ada Imam (Khalifah) yang mengurusi urusan masyarakat." (An-Nabhani, Ibid, II/19).
Bahkan menurut Ibn Taimiyah, "Amar makruf dan nahi munkar hanya bisa berjalan dengan sempurna dengan adanya sanksi syariah ('uqubat syar'iyyah). Sebab, melalui kekuasaan (imamah/khilafah) Allah akan menghilangkan apa yang tidak bisa dilenyapkan dengan al-Qur'an. Menegakkan hudud adalah wajib bagi para penguasa." Beliau juga menegaskan, "Harus diketahui, bahwa adanya kepemimpinan untuk mengurusi urusan orang merupakan kewajiban agama (Islam) yang paling besar. Bahkan, tanpanya, agama dan dunia ini tidak akan tegak." (Ibn Taimiyyah, Majmu' al-Fatawa, juz XXVIII, hal. 107 dan 390). Imam al-Ghazali juga menyatakan, "Kita tidak mungkin bisa menetapkan suatu perkara ketika negara tidak lagi memiliki Imam (Khilafah) dan peradilan telah rusak." (Al-Ghazali, Ihya' 'Ulûm ad-Dan. Lihat juga syarahnya oleh az-Zabidi, II/233).

Demikianlah, hampir tidak ada seorang ulama pun yang mukhlish, jujur dan amanah, baik salaf maupun khalaf, yang mengingkari adanya Khilafah dan kewajiban untuk mengembalikannya”meskipun mereka berbeda pendapat tentang siapa yang berhak mendudukinya, dan bagaimana metode perjuangan untuk menegakkannya.

Wallahu a'lam bi ash-shawwab.

*Izzuddin, Aktivis Hizbut Tahrir (HTI) Tanjungpinang

Sumber : http://batampos.co.id/content/view/28972/97/ (Batam Pos; Jumat, 24 Agustus 2007)

MENGENAL KHILAFAH

Definisi Khilafah :
Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam).
Dari definisi ini, jelas bahawa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia. Kerana nas-nas syara' (nushush syar'iyah) memang menunjukkan kewajiban umat Islam untuk bersatu dalam satu institusi negara. Sebaliknya haram bagi mereka hidup dalam lebih dari satu negara.

Apa Hukumnya Mendirikan Khilafah?

Kewajiban tersebut didasarkan pada nas-nas al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma' Sahabat, dan Qiyas. Dalam al-Qur`an Allah SWT berfirman:

"Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai"
(TMQ. Ali-'Imran [3]: 103).

Rasulullah SAW dalam masalah persatuan umat ini bersabda: "Barangsiapa mendatangi kalian - sedang urusan (kehidupan) kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah) - dan dia hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jemaah kalian, maka bunuhlah dia!" [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: "Jika dibai'at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa membai'at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksima mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].

Di samping itu, Rasulullah SAW menegaskan pula dalam perjanjian antara kaum Muhajirin - Anshar dengan Yahudi: "Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad - Nabi antara orang-orang beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib - serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjihad bersama-sama mereka - bahawa mereka adalah umat yang satu, di luar golongan orang lain..." (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, Jilid II, hal. 119).

Nas-nas al-Qur`an dan as-Sunnah di atas menegaskan adanya kewajipan bersatu bagi kaum muslimin atas dasar Islam (hablullah) - bukan atas dasar kebangsaan atau ikatan palsu lainnya yang dicipta penjajah yang kafir - di bawah satu kepemimpinan, iaitu seorang Khalifah. Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah, di samping menunjukkan pula jenis hukuman syar'ie bagi orang yang berupaya memecah-belah umat Islam menjadi beberapa negara, iaitu hukuman mati.

Selain al-Quran dan as-Sunnah, Ijma' Sahabat pun menegaskan pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Abu Bakar Ash Shiddiq suatu ketika pernah berkata,"Tidak halal kaum muslimin mempunyai dua pemimpin (Imam)." Perkataan ini didengar oleh para Sahabat dan tidak seorang pun dari mereka yang mengingkarinya, sehingga menjadi ijma' di kalangan mereka.

Bahkan sebahagian fuqoha menggunakan Qiyas 'sumber hukum keempat' untuk menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam Al Juwaini berkata,"Para ulama kami (mazhab Syafi'i) tidak membenarkan akad Imamah (Khilafah) untuk dua orangKalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang, itu sama halnya dengan seorang wali yang menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki!"

Ertinya, Imam Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua Imam bagi kaum muslimin dengan keharaman wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang lelaki yang akan menjadi suaminya. Jadi, Imam/Khalifah untuk kaum muslimin wajib hanya satu, sebagaimana wali hanya boleh menikahkan seorang perempuan dengan satu orang laki-laki, tidak boleh lebih. (Lihat Dr. Muhammad Khair, Wahdatul Muslimin fi Asy Syari'ah Al Islamiyah, majalah Al Wa'ie, hal. 6-13, no. 134, Rabi'ul Awal 1419 H/Julai 1998 M)

Jelaslah bahawa kesatuan umat di bawah satu Khilafah adalah satu kewajipan syar'i yang tak ada keraguan lagi padanya. Kerana itu, tidak menghairankan bila para imam-imam mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bersepakat bulat bahawa kaum muslimin di seluruh dunia hanya boleh mempunyai satu orang Khalifah saja, tidak boleh lebih:

"...para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- bersepakat pula bahawa kaum mulimin di seluruh dunia pada saat yang sama tidak dibenarkan mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat mahupun tidak." (Lihat Syaikh Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ˜Ala Al Madzahib Al Arba'ah, jilid V, hal. 416) Hukum menegakkan Khilafah itu sendiri adalah wajib, tanpa ada perbezaan pendapat di kalangan imam-imam mazhab dan mujtahid-mujtahid besar yang alim dan terpercaya.

Dalil-Dalil Wajibnya Khilafah

Siapapun yang menelaah dalil-dalil syar'ie dengan cermat dan ikhlas akan menyimpulkan bahawa menegakkan Daulah Khilafah hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Di antara argumentasi syar'ie yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut :

Dalil Al-Quran

Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian."
(TMQ. An-Nisaa` [4]: 59).

Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, yaitu Al Haakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha`, bererti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk mentaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk mentaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.

Maka menjadi jelas bahawa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, bererti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara', sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara'. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, kerana kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, iaitu mengabaikan hukum syara' (tadhyii' al hukm asy syar'ie).

Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:

"Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu."
(TMQ. Al-Ma'idah [5]: 48).

"Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu"
(TMQ. Al-Ma'idah [5]: 49).

Dalam kaedah ushul fiqh dinyatakan bahawa, perintah (khithab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khithabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.

Oleh kerana itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, iaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as sultan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.

Dalil As-Sunah

Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ˜Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, nescaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai'ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].

Nabi SAW mewajibkan adanya bai'at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai'at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai'at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajipan mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai'at di leher setiap muslim. Sebab bai'at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.

Rasulullah SAW bersabda: "Bahawasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]

Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak." Para Sahabat bertanya,'Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,'Penuhilah bai'at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajipan mereka." [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].

Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi'li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara' atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara', maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti (fardu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara' akan terabaikan.

Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Bererti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahawa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.

Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai'at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].

Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini bererti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.

Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.

Dalil Ijma' Sahabat

Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma' Sahabat menunjukkan bahawa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ˜alaihim.

Ijma' Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajipan menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajipan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebahagian di antaranya justeru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebahagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajipan menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma') mereka untuk segera melaksanakan kewajipan mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.

Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajipan mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbezaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW mahupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh kerana itu Ijma' Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajipan mengangkat Khalifah.

Dalil Dari Kaedah Syar'iyah

Ditilik dari analisis kaedah fiqih , mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fiqh dikenal kaedah syar'iyah yang disepakati para ulama yang berbunyi :

maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib

"Sesuatu kewajipan yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya."
Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaedah syar'iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.

Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahawa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.

Pendapat Para Ulama

Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ˜Ala Al Madzahib Al Arba'ah, jilid V, hal. 362 :

"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahawa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..."

Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah 'termasuk Khawarij dan Mu'tazilah' tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu ditolak, kerana bertentangan dengan nas-nas syara' yang telah jelas.

Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoriti Mu'tazilah, dan Asy A'riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara'." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa' Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi'ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)."

Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib bukan haram apalagi bid'ah - dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja rujukan yang menunjukkan kewajiban Khilafah :

Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5,

Abu Ya'la Al Farraa', Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19,

Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar'iyah, hal.161,

Ibnu Taimiyah, Majmu'ul Fatawa, jilid 28 hal. 62,

Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I'tiqad,hal. 97,

Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167,

Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264,

Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa'iqul Muhriqah, hal.17,

Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176,

Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205,

Dr. Dhiya'uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99,

Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26,

Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla'una As Siyasiyah, hal. 124,

Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248,

Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ˜Uzhma, hal.75,

Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61,

dan masih banyak lagi yang lainnya.

Adapun buku-buku yang mengingkari wajibnya Khilafah --seperti Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholis Madjid-- sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai buku yang serius dan bermutu. Sebab isinya bertentangan dengan nas-nas syara' yang demikian jelas dan terang. Buku-buku seperti ini tak lain hanya sampah yang kotor yang merupakan penyambung lidah kaum kafir penjajah dan agen-agennya yaitu para penguasa muslim yang zalim yang selalu memaksakan sekularisme kepada umat Islam dengan berbagai argumentasi palsu yang berkedok studi "ilmiah" atau studi "sosiohistori-objektif", dengan tujuan untuk menghapuskan hukum-hukum Allah dari muka bumi dengan cara menghapuskan ide Khilafah yang bertanggung jawab melaksanakan hukum-hukum tersebut. [ ]

SUMBER : http://www.mykhilafah.com/khilafah/index.htm

ILMU DAN TSAQAFAH

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi

Sesungguhnya tidaklah mengherankan kalau umat Islam terkecoh menganggap ilmu-ilmu alam seperti fisika sama universalnya dengan ilmu-ilmu sosial seperti politik dan ekonomi. Mengapa? Sebab, pandangan tersebut juga dominan di negara-negara Barat, setelah kuatnya pengaruh Positivisme yang dirintis oleh August Comte (1798-1857). Sistem pendidikan di Dunia Islam yang didasarkan pada paradigma sekularisme akhirnya mengimbaskan pandangan yang sama itu kepada umat Islam (Butt, 1996: 17 & 42).

Positivisme adalah anggapan bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah "data-data yang nyata/empirik", atau yang mereka namakan 'positif'. Positivisme merupakan tradisi berpikir dalam ilmu-ilmu sosial Barat yang sebenarnya dipinjam dari pandangan, metode, dan teknik ilmu-ilmu alam dalam memahami dan menyelidiki fenomena alam. Karena itu, Positivisme mempercayai universalisme dan generalisasi yang diperoleh dari prosedur metode ilmiah (scientific method) sehingga kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dianggap bersifat universal atau cocok (appropriate) untuk semua, kapan saja, dan di mana saja (Fakih, 2001: 24).

Walhasil, dominasi Positivisme dan metode ilmiah yang diterapkan dalam lapangan ilmu-ilmu sosial itulah yang mengakibatkan umat Islam menganggap ilmu-ilmu sosial bersifat universal, sebagaimana halnya ilmu-ilmu alam. Maka dari itu, tidak mengherankan kalau ide demokrasi, kapitalisme, dan liberalisme dianggap sama universalnya dengan fisika atau kimia. Demikian pula sosiologi dan psikologi; juga dianggap universal seperti halnya astronomi dan biologi.

Kenyataan itulah yang membuat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani prihatin. Dari sinilah lalu beliau merumuskan gagasannya tentang klasifikasi pengetahuan menjadi ilmu dan tsaqâfah, termasuk gagasan tentang metode berpikir untuk menghasilkan masing-masing pengetahuan itu. An-Nabhani menegaskan, ilmu-ilmu sosial bukanlah pemikiran universal, melainkan pemikiran khas yang dipengaruhi oleh pandangan hidup Barat. Dengan kata lain, karakter ilmu sosial adalah terikat atau mengandung nilai (value-bound), berbeda dengan fisika atau kimia yang bebas nilai (value-free) (Agus, 1999: 58). An-Nabhani memandang pula, ada perbedaan metodologi antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Metode ilmiah, menurut beliau, hanya valid (sah) diterapkan dalam ilmu-ilmu alam, tidak berlaku secara universal untuk bidang ilmu-ilmu sosial seperti politik dan ekonomi (An-Nabhani, 1973: 32-34).

Pengertian Ilmu dan Tsaqâfah

Ilmu, menurut An-Nabhani, adalah pengetahuan (knowledge, ma‘rifah) yang diperoleh melalui metode pengamatan (observation), percobaan (experiment), dan penarikan kesimpulan dari fakta empiris (inference). Contohnya adalah fisika, kimia, dan ilmu-ilmu eksperimental lainnya. Adapun tsaqâfah adalah pengetahuan yang diperoleh melalui metode pemberitahuan (al-ikhbâr), penyampaian transmisional (at-talaqqi), dan penyimpulan dari pemikiran (istinbâth). Contohnya adalah sejarah, bahasa, hukum, filsafat, dan segala pengetahuan non-eksperimental lainnya (An-Nabhani, 1994: 262-263).

Dalam khazanah pengetahuan kontemporer, istilah ilmu dalam klasifikasi An-Nabhani di atas identik dengan ilmu-ilmu alam (natural sciences), yang sering disingkat 'sains', sedangkan tsaqâfah kurang lebih identik dengan ilmu-ilmu sosial (social sciences).

Sebagian intelektual, seperti Jujun S. Suriasumantri (Kompas, 27/4/1983), mengklasifikasikan pengetahuan menjadi dua cabang besar, yaitu ilmu (science), (yang mencakup ilmu-ilmu alam dan sosial), dan humaniora (humanities). Humaniora, menurut Elwood (1975) adalah seperangkat sikap dan perilaku moral manusia terhadap sesamanya (L. Wilardjo dalam Suriasumantri, 1992: 237), yang meliputi filsafat, moral, seni, sejarah, dan bahasa.

Istilah lain dikemukakan oleh S. Waqar Ahmed Husaini dalam bukunya Islamic Sciences (2002: 34-57), yang mengklasifikasikan pengetahuan menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu alam (natural sicencies) dan ilmu-ilmu sosial-humaniora (humanistic-social sciences). Yang terakhir ini adalah gabungan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Istilah tsaqâfah menurut An-Nabhani tampaknya lebih tepat diterjemahkan sebagai humanistic-social sciences (ilmu-ilmu sosial-humaniora), daripada sekadar social sciences.

Dari definisi ilmu dan tsaqâfah An-Nabhani di atas, dapat dianalisis bahwa kriteria dasar klasifikasinya adalah metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan, atau aspek epistemologisnya. Ilmu diperoleh melalui metode ilmiah yang asumsi dasarnya adalah netral atau bebas nilai. Sebaliknya, tsaqâfah tidak diperoleh melalui metode ilmiah, melainkan metode rasional (rational method), yaitu metode berpikir terhadap suatu fakta empiris dengan cara mengindera fakta tersebut lalu mentransfernya ke dalam otak melalui pancaindera, serta memberikan penafsiran atau keputusan (judgement) terhadap fakta tersebut dengan seperangkat informasi sebelumnya yang telah ada dalam memori otak (An-Nabhani, At-Tafkir, 1973: 28). Kesimpulan yang diperoleh dari metode atau pendekatan rasional ini, dengan sendirinya, tidaklah universal, karena bergantung pada jenis informasi yang dikaitkan dengan fakta yang ada. Riba (baik disebut interest atau usury) sebagai suatu fakta akan ditafsirkan secara berbeda oleh seorang Muslim dan orang sekular. Orang Muslim akan menilai riba haram; orang kapitalis sekular akan menganggapnya baik, menguntungkan, dan bahkan menjadi tulang punggung sistem ekonomi Barat.

Kesimpulannya, dasar klasifikasi An-Nabhani sesungguhnya ada 2 (dua): Pertama, aspek epistemologisnya, yaitu metode berpikir yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu diperoleh melalui metode ilmiah, sedangkan tsaqâfah melalui metode rasional. Kedua, aspek nilainya, yaitu keterkaitan pengetahuan dengan pandangan hidup (wijhah an-nazhar, world-view, weltanschauung) atau apa yang sering disebut nilai (value), yang didefinisikan sebagai sesuatu yang mempunyai harga dan karenanya dianggap baik atau benar, atau sesuatu yang diharapkan atau ingin dimiliki oleh manusia (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1992:13).

Jadi, ilmu adalah pengetahuan yang bebas nilai (value-free), sedangkan tsaqâfah adalah pengetahuan yang mengandung nilai (value-bound). Namun, patut dicatat, bahwa karakter bebas-nilai pada ilmu hanya ada pada dataran epistemologinya. Dalam dataran aksiologi, yaitu studi mengenai bagaimana menerapkan suatu pengetahuan, karakter ilmu tidaklah netral, tetapi bergantung pada pandangan hidup penggunanya. Internet sebagai contohnya, dapat dimanfaatkan sebagai sarana dakwah, tetapi juga dapat digunakan sebagai sarana penyebaran pornografi.

Dengan memahami dasar klasifikasi An-Nabhani di atas, kita akan dapat memahami mengapa An-Nabhani membuat beberapa pengecualian untuk beberapa cabang pengetahuan ketika diklasifikasikan, apakah masuk kategori ilmu atau tsaqâfah. Ada pengetahuan yang aslinya merupakan tsaqâfah, karena tidak eksperimental, namun kemudian digolongkan sebagai ilmu, karena tidak terkait dengan pandangan hidup dan bersifat universal. Contoh yang dikemukakan An-Nabhani, misalnya ilmu hisab (astronomi), perdagangan, pelayaran (al-milâhah), dan kerajinan tangan atau keahlian produksi barang (ash-shinâ'ât).

Mengenai astronomi, dalam sejarah Islam diketahui banyak dilakukan penerjemahan buku-buku astronomi berbahasa India dan Yunani. Muhammad A. Fajari (w. 161 H), seorang astronom Muslim, menerjemahkan buku astronomi berbahasa India, Shiddhanta Barahmagupta (ilmu bintang), ke dalam bahasa Arab. Astronom Muslim lainnya, Yakub Ibn Thariq (w. 162 H) menerjemahkan Shiddanta Aryabhrata dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Arab. Hunain Ibn Ishaq menerjemahkan Almagest (karya Ptolomeus) dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab (Sriyatin Shadiq, 1995: 61). Jadi, walaupun astronomi asalnya adalah tsaqâfah, karena dimiliki bangsa non-Muslim dan diperoleh secara non-eksperimental, namun kemudian dimasukkan ke dalam kategori ilmu, karena sifatnya yang universal dan bebas nilai.

Perbedaan dan Implikasi

Dari penjelasan di atas, paling tidak ada 3 (tiga) aspek yang membedakan ilmu dengan tsaqâfah. Pertama, aspek epistemologinya (metode memperoleh pengetahuan). Ilmu diperoleh dari metode ilmiah yaitu melalui observasi, eksperimen ilmiah, dan inferensi terhadap benda-benda material dalam laboratorium. Sebaliknya, tsaqâfah diperoleh bukan dari metode ilmiah, melainkan metode rasional berupa penyampaian informasi (misalnya dalam akidah Islam), penyampaian trasmisional (misalnya ilmu tarikh, riwayat hadis), dan penyimpulan dari pemikiran (misalnya fikih Islam). Kedua, aspek nilainya (kaitannya dengan nilai kehidupan). Ilmu bersifat bebas nilai dan universal, sedangkan tsaqâfah tidak bebas nilai dan juga tidak universal. Ketiga, aspek adopsi. Ilmu dapat diadopsi oleh umat Islam dari manapun sumbernya, walaupun dari bangsa non-Muslim. Sebaliknya, tsaqâfah tidak boleh diadopsi dari bangsa non-Muslim karena pasti mengandung pandangan hidup yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam.

Implikasi perbedaan ini sangat radikal dan fundamental, khususnya yang menyangkut tsaqâfah. Dalam hal ilmu, masyarakat Islam pada masa datang masih dapat memanfaatkan kemajuan sains dan teknologi semaksimal mungkin. Sebab, sains dan teknologi terkategori ilmu yang bersifat universal dan dapat diadopsi dari mana saja sumbernya. Namun, dalam hal tsaqâfah, masyarakat Islam tidak boleh mengadopsi tsaqâfah Barat, yaitu segala konsep atau pengetahuan non-eksperimental yang lahir dari paradigma sekularisme, seperti sekularisme itu sendiri, sistem demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, HAM, feminisme, nasionalisme, pasar bebas, dan sebagainya. Tidak boleh pula umat Islam mengadopsi segala cabang ilmu-ilmu sosial dan humaniora Barat yang ada saat ini seperti ilmu politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, kriminologi, seni, dan sejarah. Sebab semuanya telah dipengaruhi oleh pandangan hidup dan nilai-nilai ideologi Kapitalisme yang kufur sehingga tidak boleh diadopsi, dipraktikkan, dan disebarluaskan. Namun, dalam jenjang pendidikan tinggi, berbagai ide dan ideologi asing seperti itu tetap boleh dipelajari dalam rangka untuk dikritisi, bukan diadopsi.

Jadi, tatanan masyarakat Islam akan dapat dibayangkan, yaitu maju secara sains dan teknologi, namun tetap Islami dalam pemikiran, perasaan, dan peraturannya. Tidak seperti sekarang, penguasaan sains dan teknologi umat Islam payah, sementara masyarakatnya rusak berat karena didominasi oleh paham sekular yang kufur, meski mereka adalah individu-individu Muslim. Ini tentu sangat menyedihkan dan menyakitkan.


Daftar Pustaka:

Agus, Bustanudin. 1999. Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial Studi Banding Antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam. Jakarta: Gema Insani Press

Al-‘Alwani, Thaha Jabir. 1995. Identifikasi Terhadap Krisis Pemikiran Modern dan Alternatif Pemecahannya (Al-Azmah Al-Fikriyah Al-Mu’ashirah). Terjemahan oleh A. Zarkasyi Khumaidi. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Al-Attas, Syed M. Naquib. 1995. Islam dan Filsafat Sains. Bandung: Mizan.

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1973. At-Tafkîr. T.tp. : Hizbut Tahrir.

----------. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islâmiyyah. Juz I. Beirut: Darul Ummah.

An-Najjar, Abdul Majid. 1994. "Klasifikasi Ilmu-Ilmu Dalam Pemikiran Islam Antara Pandangan Konvensional dan Pandangan Orisinal", dalam Abdul Hamid Abu Sulaiman dkk, Metodologi Islam dan Ilmu-Ilmu Tingkah Laku Serta Pendidikan (Al-Minhajiyah al-Islâmiyyah wa al-‘Ulûm as-Sulûkiyyah wa at-Tarbawiyyah). Terjemahan oleh Rifyal Ka’bah. Jakarta: DDII-IIIT.

Budiardjo, Miriam. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cetakan XIV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Butt, Nasim. 1996. Sains dan Masyarakat Islam (Science and Muslim Society). Terjemahan oleh Masdar Hilmy. Bandung: Pustaka Hidayah.

Campbell, Norman. 1989. Ilmu Pengetahuan Alam Tantangan Akal-Budi Manusia (What is Science). Terjemahan oleh Sony Keraf. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Fakih, Mansour. 2003. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Garishah, Ali. 1992. Metode Pemikiran Islam (Manhaj at-Tafkîr al-Islâmî). Terjemahan oleh Salim Basyarahil. Jakarta: Gema Insani Press.

Husain, Syed Sajjad & S. Ali Asharaf (Ed). 1994. Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam (The Crisis of Muslim Education). Terjemahan oleh Rahmani Astuti. Bandung: CV Gema Risalah Press.

Husaini, S. Waqar Ahmed. 2002. Islamic Sciences: An Introduction to Islamic Ethics, Law, Education, Politics, Economics, Sociology, and System Planning. New Delhi: Goodword Books.

Shadiq, Sriyatin.1995. "Perkembangan Hisab, Rukyat, dan Penetapan Awal Bulan Qamariyah", dalam Muammal Hamidy (Ed.), Menuju Kesatuan Hari Raya, Surabaya: PT Bina Ilmu.

Suriasumantri, Jujun S. 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik. Jakarta: PT Gramedia.

----------. 1992. Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Cetakan X. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.